Kabarnoken.com- Kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan publik setelah muncul berbagai laporan yang menyebut bahwa kelompok tersebut telah mengambil keuntungan dari masyarakat Orang Asli Papua (OAP) tanpa memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kesejahteraan warga. Tuduhan ini semakin menguat seiring meningkatnya aksi kekerasan dan pemalakan yang dilakukan terhadap masyarakat sipil, termasuk OAP sendiri, yang ironisnya justru menjadi korban dari perjuangan yang mengatasnamakan mereka.
Sejumlah tokoh adat dan masyarakat sipil Papua menyatakan kekecewaannya atas tindakan OPM yang semakin jauh dari nilai-nilai perjuangan kemanusiaan dan lebih condong pada kepentingan kelompok sempit. Mereka menilai bahwa klaim OPM untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua tidak sejalan dengan tindakan yang justru menyengsarakan rakyat Papua sendiri.
Salah satu bentuk eksploitasi yang paling banyak dikeluhkan adalah praktik pemalakan terhadap masyarakat di wilayah pedalaman Papua, termasuk terhadap para pedagang, petani, hingga pekerja proyek pembangunan infrastruktur dasar. Kelompok bersenjata dilaporkan kerap meminta “uang keamanan” dari warga, bahkan tidak segan menyita hasil panen atau barang dagangan masyarakat dengan dalih mendukung perjuangan.
Seorang warga distrik Yigi, Kabupaten Nduga, yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengungkapkan bahwa masyarakat dipaksa untuk memberikan logistik dan uang secara berkala kepada kelompok bersenjata yang menguasai wilayah tersebut.
“Kami diminta kasih beras, rokok, atau uang. Kalau tidak, mereka ancam bakar rumah atau pukul warga. Mereka bilang ini demi revolusi Papua, tapi kami rakyat kecil makin menderita,” ujarnya, Senin (14/4/2025).
Berdasarkan hasil investigasi dari sejumlah organisasi masyarakat sipil, dana yang dikumpulkan dari warga, termasuk dana yang didapat melalui pemalakan, tidak pernah dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Sebaliknya, dana tersebut sebagian besar digunakan untuk pembelian senjata, amunisi, serta mendukung operasi kelompok bersenjata di hutan dan pegunungan.
“OPM saat ini lebih mirip seperti kelompok bersenjata yang bertahan hidup dengan cara memeras rakyatnya sendiri. Mereka tidak membangun sekolah, tidak membangun klinik, tidak ada program pemberdayaan masyarakat. Yang ada hanya ancaman dan kekerasan,” tegas Paulus.
Ketimpangan yang mencolok juga terlihat antara para elit OPM yang berada di luar negeri, seperti di negara-negara Pasifik dan Eropa, dengan kondisi warga Papua yang hidup di bawah tekanan. Para elit ini kerap tampil dalam forum internasional, menyuarakan penderitaan Papua, namun di sisi lain, rakyat yang mereka wakili justru menjadi korban intimidasi dan kemiskinan akibat ulah kelompok bersenjata di lapangan.
“Selama ini mereka bicara kemerdekaan di luar negeri, tapi di kampung-kampung rakyat kelaparan, tidak bisa sekolah, takut keluar rumah karena ada kelompok bersenjata. Mana tanggung jawab mereka?” ujar Yohana Wakum, aktivis perempuan Papua asal Wamena.
Pemerintah melalui aparat keamanan terus berupaya menekan gerak kelompok separatis bersenjata, namun di saat yang sama juga dituntut untuk lebih mengedepankan pendekatan kesejahteraan agar hati masyarakat Papua tidak semakin menjauh dari NKRI.
Staf Khusus Presiden RI untuk Papua, Billy Mambrasar, menegaskan bahwa pembangunan di Papua harus berorientasi pada kesejahteraan dan partisipasi masyarakat asli Papua.
“Pemerintah terus memperluas akses pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi untuk OAP. Kami ingin rakyat Papua makmur tanpa rasa takut,” ungkapnya dalam sebuah forum diskusi baru-baru ini.
Di tengah kondisi ini, harapan terbesar masyarakat Papua kini adalah hadirnya kepemimpinan lokal yang berani bersuara melawan kekerasan dan pemerasan terhadap warga sipil oleh kelompok manapun, termasuk oleh OPM. Masyarakat menginginkan perjuangan yang sungguh-sungguh memihak pada rakyat, bukan sekadar retorika bersenjata.