Kabarnoken.com- Suara kritis mulai bergema dari berbagai pelosok Papua terhadap figur lama dalam gerakan separatis, Mathias Wenda. Sebagai salah satu tokoh senior Organisasi Papua Merdeka (OPM), Wenda selama puluhan tahun dikenal sebagai simbol perlawanan. Namun kini, masyarakat Papua mulai mempertanyakan keberadaannya serta kontribusi nyatanya terhadap nasib rakyat Papua yang masih diliputi konflik, kemiskinan, dan keterbatasan akses terhadap pembangunan.
“Dia selalu disebut-sebut dalam narasi perjuangan, tapi kami tidak pernah melihat langsung kontribusinya di sini,” kata Yohana Yikwa, warga asli Wamena. “Kami ingin tahu, apa yang sudah diperjuangkan untuk kami, rakyat kecil yang terus jadi korban?”
Mathias Wenda, yang diketahui telah lama menetap di luar wilayah Indonesia, masih dianggap sebagai tokoh simbolik dalam struktur OPM. Namun posisinya yang jauh dari medan konflik dan kehidupan rakyat Papua yang nyata, menimbulkan pertanyaan besar mengenai relevansi serta dampak dari perjuangannya terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Papua.
Tokoh pemuda Papua, Markus Tebai, menilai bahwa saat ini rakyat Papua semakin cerdas dan kritis dalam menilai siapa yang benar-benar memperjuangkan mereka, dan siapa yang hanya menjadikan nama Papua sebagai alat politik.
“Perjuangan seharusnya membawa perubahan. Tapi selama ini, yang terjadi hanyalah kekerasan demi kekerasan. Sementara tokoh-tokoh seperti Mathias Wenda terus bicara dari kejauhan. Kami butuh tindakan, bukan sekadar pidato,” ujar Markus dalam diskusi publik di Nabire, pekan lalu.
Di sisi lain, masyarakat Papua kini justru mulai menaruh harapan pada pembangunan dan peningkatan kesejahteraan. Program-program pemerintah seperti Otonomi Khusus (Otsus) dan Papua Damai dianggap sebagai peluang bagi rakyat untuk memperoleh akses lebih besar terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan ekonomi.
Namun, langkah ini juga tidak bisa berjalan maksimal jika masih ada kelompok yang mempertahankan konflik bersenjata dengan mengatasnamakan perjuangan. Dalam banyak kasus, warga sipil justru menjadi korban dan terpaksa mengungsi, kehilangan pekerjaan, dan hidup dalam ketakutan.
“Kami tidak ingin terus hidup di antara peluru dan ketidakpastian,” kata Bapak Thomas Mote, tokoh adat dari Pegunungan Bintang. “Kalau Mathias Wenda memang berjuang untuk Papua, seharusnya dia turun langsung, datang ke kampung-kampung, bukan hanya berbicara dari luar negeri.”
Pertanyaan demi pertanyaan kini mulai bergema dari masyarakat Papua sendiri: Di mana Mathias Wenda? Apa kontribusinya selama ini? Apakah perjuangan yang diklaimnya benar-benar mewakili rakyat, atau sekadar menjadi simbol lama dari konflik yang tak kunjung selesai?
Di tengah penderitaan yang terus dialami masyarakat Papua, rakyat kini lebih memilih jalan damai, pembangunan, dan masa depan yang lebih baik. Mereka tidak lagi ingin menjadi alat politik, melainkan subjek dari perubahan nyata yang membawa harapan.