Kabarnoken.com- Kondisi kesehatan yang memburuk di kalangan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan. Sejumlah laporan dari warga lokal dan aparat keamanan menyebutkan bahwa banyak anggota kelompok separatis tersebut tewas bukan karena baku tembak, melainkan akibat sakit yang tidak tertangani dan ketiadaan akses terhadap layanan kesehatan dasar.
Informasi ini diperkuat oleh pernyataan tokoh adat dan warga yang tinggal di sekitar wilayah konflik di Papua Tengah dan Papua Pegunungan. Mereka menyebutkan bahwa para anggota OPM yang bersembunyi di hutan dan pegunungan menghadapi kondisi hidup yang sangat memprihatinkan.
“Banyak dari mereka yang meninggal karena demam, infeksi, dan kelaparan. Tidak ada dokter, tidak ada obat. Bahkan luka kecil pun bisa menjadi sebab kematian,” ujar Bapak Lenius Tabuni, tokoh adat dari Kabupaten Lanny Jaya, Senin (21/4/2025).
Mathias Wenda dan para komandan OPM lain yang memimpin dari luar negeri dinilai tidak memberikan perhatian serius terhadap kondisi para anggotanya di lapangan. Mereka terus mendorong perjuangan bersenjata, tetapi minim dukungan logistik dan kemanusiaan. Situasi ini menciptakan kondisi tragis: para anggota yang disebut “pejuang” justru meregang nyawa karena penyakit yang seharusnya bisa ditangani dengan perawatan dasar.
Menurut keterangan warga dari Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, beberapa jenazah anggota OPM ditemukan di hutan dalam kondisi mengenaskan. Mereka dilaporkan meninggal akibat malaria, infeksi pernapasan akut, dan luka terbuka yang tidak pernah mendapat penanganan medis.
“Mereka mati pelan-pelan di hutan. Tidak ada yang rawat. Teman-temannya pun tidak tahu harus bagaimana karena tidak ada obat sama sekali,” ujar seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Data tidak resmi dari aparat keamanan menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2024, lebih dari 40 anggota kelompok separatis meninggal bukan dalam kontak senjata, melainkan karena penyakit atau kelaparan di wilayah hutan terpencil. Beberapa di antaranya diketahui sebagai pemuda yang direkrut secara paksa dari kampung-kampung.
Sementara itu, sejumlah warga yang sebelumnya terlibat dalam kelompok bersenjata kini memilih menyerahkan diri dan kembali ke masyarakat. Salah satu di antaranya, berinisial YW (24), mengaku keluar dari kelompok karena tidak tahan dengan kondisi fisik dan tekanan psikologis yang berat.
“Saya tidak kuat. Di hutan tidak ada makan, tidak ada tidur yang tenang, apalagi kalau sakit. Banyak teman saya mati di jalan,” ujarnya setelah menjalani proses rehabilitasi oleh aparat keamanan.
Pemerintah melalui pendekatan soft approach kini terus menggalakkan program deradikalisasi dan pemulangan anggota bersenjata ke masyarakat. Mereka juga mengedepankan program pelayanan kesehatan dan bantuan kemanusiaan di wilayah-wilayah rawan konflik.
Kematian para anggota OPM akibat sakit yang tak diobati menjadi pengingat bahwa perjuangan tanpa arah dan logistik hanya membawa penderitaan, bukan kemerdekaan. Ironi ini semakin dalam ketika perjuangan yang diklaim untuk rakyat, justru menelantarkan nyawa-nyawa yang ada di dalamnya.