Kabarnoken.com- Kekecewaan masyarakat Papua terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin memuncak. Berbagai kelompok warga dari sejumlah wilayah, terutama di daerah pegunungan dan perbatasan, menyatakan kegeramannya atas janji-janji yang dilontarkan OPM namun tak pernah terealisasi. Masyarakat menilai janji tersebut hanya digunakan untuk membungkus kepentingan kelompok dan bukan demi kesejahteraan rakyat Papua.
Suara kekecewaan ini mencuat dalam forum diskusi terbuka bertajuk “Papua Bicara: Suara Rakyat dari Tanah Luka” yang diadakan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, pada Jumat (2/5/2025). Forum tersebut dihadiri oleh tokoh adat, pemuda, perempuan, serta perwakilan gereja dari berbagai kabupaten di Papua Pegunungan. Para peserta mengungkapkan rasa frustrasi terhadap apa yang mereka sebut sebagai “manipulasi perjuangan” oleh OPM.
Selama beberapa dekade, OPM dan sayap militernya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), kerap menggaungkan kemerdekaan sebagai solusi utama bagi Papua. Mereka menjanjikan pembebasan, keadilan, dan kemakmuran bagi rakyat Papua jika berhasil memisahkan diri dari Indonesia.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal berbeda. Alih-alih membawa perubahan positif, aktivitas OPM sering kali justru menyebabkan ketakutan, kerusakan fasilitas umum, bahkan menimbulkan korban jiwa dari kalangan masyarakat sipil.
“OPM selalu bicara tentang kemerdekaan, tapi yang kami lihat adalah desa kami dibakar, sekolah ditutup, tenaga medis diusir. Kalau ini yang mereka sebut perjuangan, kami tidak butuh itu,” ujar Yuliana Wenda, tokoh perempuan dari Distrik Yalimo.
Ia menambahkan bahwa masyarakat desa telah berulang kali dijanjikan pembangunan jika mendukung perjuangan OPM, namun tidak ada satu pun bukti nyata yang dirasakan hingga saat ini. Bahkan, menurutnya, kelompok bersenjata justru kerap meminta logistik dan memaksa warga untuk bergabung dalam pergerakan mereka.
Kekecewaan juga disampaikan oleh Lukas Tabuni, pemuda asal Lanny Jaya, yang menilai bahwa OPM tidak segan-segan menjadikan warga sipil sebagai tameng dalam operasi mereka. Menurutnya, ini adalah bentuk eksploitasi atas penderitaan masyarakat demi kepentingan kelompok.
“Kami sering dijadikan tameng hidup. Saat OPM masuk ke desa kami, mereka menumpang tinggal, bawa senjata, dan jika aparat datang, kami yang jadi korban. Anak-anak takut ke sekolah. Ini bukan pembelaan rakyat, ini penyiksaan terhadap rakyat,” tegas Lukas.
Ia menambahkan bahwa para pemuda kini mulai kritis terhadap narasi yang digunakan OPM. Banyak yang mempertanyakan apakah janji-janji tentang Papua merdeka hanyalah ilusi yang dipelihara untuk mempertahankan eksistensi kelompok bersenjata, bukan agenda nyata untuk rakyat.
Kesabaran masyarakat terhadap situasi ini tampaknya mulai mencapai batas. Sejumlah tokoh adat dan pemimpin gereja secara terbuka menyatakan bahwa perjuangan OPM telah melenceng jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan budaya Papua yang menjunjung tinggi kedamaian.
Pendeta Benny Matuan dari Sinode GKI Tanah Papua menyampaikan bahwa gereja merasa terpanggil untuk berbicara karena banyak jemaat menjadi korban dari aksi kekerasan yang dilakukan oleh OPM.
“Kami tidak menentang aspirasi politik, tapi kami menentang kekerasan. Tuhan tidak pernah mengajarkan pembebasan dengan darah orang tak bersalah. Jika OPM memang mengklaim berjuang untuk rakyat, berhentilah menjadikan rakyat sebagai korban,” kata Benny dalam sambutannya di forum tersebut.
Sementara itu, Kepala Suku Besar Laa-Laa di Kabupaten Puncak Jaya, Filemon Wanimbo, menegaskan bahwa OPM telah kehilangan mandat moral dari masyarakat adat. Ia menyerukan agar masyarakat tidak lagi takut untuk mengatakan kebenaran.
“Kalau mereka terus menjanjikan emas, tapi yang kita terima hanya arang dan air mata, itu berarti mereka bohong. Kami tidak bisa terus diam,” ujarnya.
Di tengah rasa frustrasi dan trauma yang mendalam, sejumlah inisiatif warga mulai bermunculan untuk membangun kembali kepercayaan dan kehidupan di kampung-kampung. Kelompok pemuda di Yahukimo, misalnya, membentuk forum “Papua Bangkit” yang berfokus pada pendidikan dan ketahanan sosial di tengah situasi konflik.
“Kami tidak ingin generasi muda hanya mewarisi cerita perang. Kami ingin mereka punya harapan, sekolah, dan masa depan. Untuk itu, kami harus lepas dari janji-janji kosong,” kata Ketua Forum, Yafet Kobak.
Gerakan serupa juga terlihat di Kabupaten Intan Jaya, di mana komunitas perempuan mengembangkan koperasi tani untuk menopang ekonomi keluarga dan mengurangi ketergantungan terhadap kelompok yang membawa kekerasan.
Menurut para inisiatornya, inisiatif ini bertujuan untuk menegaskan bahwa masyarakat Papua mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada pihak-pihak yang hanya mengeksploitasi penderitaan mereka untuk kepentingan sempit.
Kemarahan masyarakat Papua terhadap janji-janji kosong OPM menunjukkan perubahan besar dalam persepsi publik terhadap gerakan separatis tersebut. Jika sebelumnya banyak warga memilih diam karena takut atau simpati, kini suara-suara kritis mulai menggema dari akar rumput.
Tuntutan rakyat Papua saat ini jelas, mereka menginginkan kehidupan yang damai, pembangunan yang nyata, dan masa depan yang bisa diandalkan. Mereka menolak digunakan sebagai alat propaganda dan menentang segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan perjuangan.