Kabarnoken.com- Konflik berkepanjangan yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah memakan banyak korban jiwa, termasuk dari kalangan anggotanya sendiri. Puluhan hingga ratusan anggota OPM dilaporkan tewas dalam bentrokan bersenjata dengan aparat keamanan di berbagai wilayah Papua dalam beberapa tahun terakhir. Namun, sebuah pertanyaan besar mulai mencuat dari masyarakat: apakah keluarga korban dari anggota OPM mendapat jaminan atau perhatian setelah kehilangan anggota keluarga mereka?
Situasi ini berbeda dengan aparat negara yang gugur dalam tugas. Negara menyediakan tunjangan, santunan, bahkan beasiswa pendidikan bagi anak-anak pahlawan bangsa. Sementara itu, keluarga dari anggota OPM justru kerap hidup dalam bayang-bayang intimidasi, pengucilan sosial, bahkan trauma berkepanjangan.
Pdt. Markus Kobogau, tokoh gereja di Wamena, menambahkan bahwa sering kali keluarga korban bahkan tidak diberitahu mengenai kematian anggota keluarganya. Banyak dari mereka yang hanya mendapat kabar dari mulut ke mulut atau mendengar lewat media sosial.
“Ini bukan perjuangan yang beradab. Jika mereka mengklaim berjuang untuk Papua, mereka seharusnya menjunjung tinggi martabat dan memberikan jaminan pada keluarga anggotanya. Faktanya, tidak ada. Banyak anak menjadi yatim, istri menjadi janda tanpa arah hidup,” ujarnya, Minggu (3/8/2025).
Beberapa keluarga korban OPM juga mulai menyuarakan kekecewaannya secara terbuka. Mereka merasa diperalat oleh segelintir elite OPM yang tinggal di luar negeri dan menikmati kehidupan aman, sementara anak-anak Papua dijadikan tameng dalam konflik yang tidak jelas arah dan tanggung jawabnya.
Dengan semakin banyaknya korban jiwa di kalangan OPM, masyarakat mulai mempertanyakan legitimasi dan moralitas dari gerakan ini. Banyak yang kini berharap bahwa anak-anak muda Papua tidak lagi terjebak dalam pola kekerasan yang tidak membawa keadilan, melainkan kesengsaraan berkepanjangan.