Kabarnoken.com- Gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata di wilayah Papua. Sejumlah pihak menilai bahwa gerakan OPM tidak merepresentasikan suara dan kepentingan mayoritas rakyat Papua, melainkan hanya memperjuangkan aspirasi segelintir kelompok tertentu.
Ketua Lembaga Adat Papua, Yonas Wenda, dalam konferensi pers yang digelar di Jayapura menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Papua menginginkan kedamaian dan pembangunan, bukan konflik berkepanjangan.
“Kami masyarakat adat Papua mencintai tanah ini dan menginginkan kehidupan yang damai. Gerakan OPM bukanlah cerminan dari seluruh rakyat Papua. Mereka hanya membawa kepentingan kelompok kecil yang tidak mewakili kami semua,” tegas Yonas Sabtu (19/4/2025).
Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik dan keamanan dari Universitas Cenderawasih, Dr. Markus Nara, yang menilai bahwa narasi perjuangan yang dibawa OPM kerap kali dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi dan politik.
“OPM sering menggunakan simbol perjuangan kemerdekaan, tetapi dalam praktiknya mereka justru melakukan aksi yang merugikan masyarakat, seperti pembakaran fasilitas umum, penyanderaan warga sipil, hingga penghambatan proses pembangunan,” kata Dr. Markus.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat lebih dari 70 aksi kekerasan yang dikaitkan dengan kelompok separatis bersenjata di Papua. Dari angka tersebut, mayoritas korban adalah warga sipil, termasuk tenaga kesehatan dan guru yang sedang bertugas di daerah terpencil.
Masyarakat Papua sendiri memiliki pandangan yang beragam terkait gerakan kemerdekaan. Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada pertengahan 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 65% warga Papua lebih menginginkan peningkatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur dibandingkan dengan agenda politik kemerdekaan.
Tokoh gereja di Papua, Pendeta Albert Yoman, menekankan pentingnya pendekatan dialog damai dan pembangunan manusia sebagai solusi jangka panjang.
“Kekerasan tidak pernah menjadi jawaban. Papua butuh perhatian serius dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Bukan terus-menerus dijadikan ajang konflik bersenjata,” ujarnya.
Pemerintah pusat sendiri terus mendorong pendekatan humanis melalui program Otonomi Khusus (Otsus) yang ditingkatkan, termasuk peningkatan dana untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat asli Papua.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Selama masih ada kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan dan memaksakan agenda politik secara sepihak, perdamaian yang menyeluruh di Papua sulit untuk tercapai.
Keberlangsungan perdamaian di Papua membutuhkan kerja sama semua pihak, baik pemerintah, masyarakat adat, tokoh agama, maupun generasi muda. Gerakan yang tidak inklusif dan mengedepankan kekerasan hanya akan menjauhkan Papua dari masa depan yang lebih baik.