Kabarnoken.com- Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menuai sorotan publik akibat cara perjuangan yang kerap menggunakan kekerasan bersenjata. Ironisnya, korban dari aksi-aksi brutal ini justru sebagian besar berasal dari masyarakat Papua sendiri, rakyat yang diklaim mereka bela.
Aksi kekerasan yang dilakukan OPM semakin sering menyasar warga sipil, baik di kota maupun di pedalaman. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa kelompok ini tak segan membakar fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas, bahkan melakukan penyanderaan terhadap guru dan tenaga kesehatan. Aksi brutal tersebut telah menciptakan ketakutan dan trauma di kalangan masyarakat, terutama anak-anak dan perempuan.
Tokoh masyarakat dari Kabupaten Nduga, Bapak Menase Tabuni, mengungkapkan kekecewaannya atas cara-cara kekerasan yang digunakan OPM dalam memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai “kemerdekaan”. “Kami rakyat kecil yang jadi korban. Anak-anak kami tidak bisa sekolah, jalan dan jembatan rusak karena dibakar. Kalau ini yang disebut perjuangan, maka itu hanya menyengsarakan kami,” kata Menase, Selasa (22/7/2025).
Sementara itu, tokoh pemuda dari Paniai, Yerry Degei, menegaskan bahwa pendekatan bersenjata tidak akan pernah bisa menjadi solusi untuk masa depan Papua. Menurutnya, perjuangan OPM saat ini telah melenceng dari nilai-nilai kemanusiaan. “OPM tidak lagi berpikir untuk rakyat. Mereka hanya menggunakan rakyat sebagai tameng, dan mengorbankan masyarakat untuk kepentingan elit mereka yang tinggal di luar negeri,” ujar Yerry.
Tak sedikit masyarakat yang mengeluhkan bahwa mereka dipaksa untuk mendukung OPM, bahkan diancam jika menolak membantu. Beberapa warga mengaku dimintai uang, logistik, hingga tempat persembunyian secara paksa. Ketakutan ini membuat banyak warga hidup dalam tekanan dan rasa was-was.
Tokoh agama dari Ilaga, Pendeta Daniel Wakerkwa, turut menyuarakan keprihatinannya. Ia menegaskan bahwa OPM telah menciptakan penderitaan, bukan kebebasan. “Kekerasan tidak akan pernah membawa damai. Kami butuh ketenangan, bukan konflik. Kami ingin hidup dengan layak, bekerja, beribadah, dan mendidik anak-anak kami tanpa gangguan dari kelompok bersenjata,” kata Pendeta Daniel.