Kabarnoken.com- Aksi kekerasan kembali mewarnai wilayah Papua, kali ini terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Rabu pagi, 14 Mei 2025. Sekitar pukul 04.00 hingga 05.00 WIT, aparat keamanan dari TNI memasuki sejumlah kampung di Distrik Sugapa, yakni Kampung Titigi, Ndugusiga, Jaindapa, Sugapa Lama, dan Zanamba, untuk melakukan misi damai berupa pelayanan kesehatan dan edukasi kepada masyarakat. Namun, kedatangan mereka justru dimanipulasi oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan menjadikan warga sipil sebagai tameng hidup, dan menyebarkan informasi bahwa kedatangan TNI akan mengancam nyawa masyarakat.
Menurut informasi dari Kepala Suku Kampung Sugapa Bapak Melianus Wandegau, OPM telah memanipulasi kehadiran aparat keamanan sebagai ancaman, padahal kenyataannya aparat hadir dengan niat tulus membantu masyarakat. “Kami dijanjikan kesejahteraan oleh mereka (OPM), namun kenyataannya kami hanya dijadikan alat dan pelindung dari serangan. Warga dijadikan tameng untuk melawan TNI,” ungkap Bapak Melianus Wandegau, Rabu (14/5/2026).
Kehadiran aparat keamanan di wilayah tersebut sejatinya membawa misi kemanusiaan. Rangkaian kegiatan yang direncanakan termasuk pemeriksaan kesehatan gratis, pembagian obat-obatan, serta pengajaran bagi anak-anak dan masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari program pemerintah dalam memperkuat pelayanan dasar di daerah tertinggal dan mempererat hubungan antara negara dan rakyat Papua.
Namun OPM, yang selama ini dikenal menolak kehadiran pemerintah, kembali menunjukkan sikap tak bertanggung jawab. Ketika aparat mulai memasuki kampung-kampung tersebut, kelompok separatis ini justru berlindung di balik warga sipil dan melakukan aksi penyerangan secara brutal. Mereka melepaskan tembakan ke arah kerumunan warga untuk menimbulkan kekacauan dan menghalangi pendekatan aparat keamanan. Aksi keji tersebut mengakibatkan sejumlah warga menjadi korban.
Berdasarkan laporan awal yang diterima, terdapat delapan korban dalam kejadian ini. Empat di antaranya berhasil dievakuasi dan saat ini sedang mendapatkan penanganan medis intensif di pusat pelayanan kesehatan terdekat. Sementara itu, empat korban lainnya dilaporkan masih hilang dan belum ditemukan hingga berita ini diturunkan. Diduga mereka melarikan diri ke hutan sekitar saat insiden berlangsung dan hingga kini belum diketahui keberadaannya.
Aparat keamanan dari TNI menyatakan bahwa misi yang mereka jalankan tidak bersifat ofensif dan sepenuhnya bersandar pada pendekatan kemanusiaan. “Kami tidak datang untuk berperang. Kami datang untuk memberikan pelayanan. Namun tindakan kelompok bersenjata yang menjadikan warga sebagai tameng jelas-jelas merupakan pelanggaran HAM berat,” ujar salah satu perwira yang memimpin operasi tersebut.
Fenomena seperti ini bukan pertama kali terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, OPM telah berulang kali menggunakan warga sipil sebagai alat propaganda maupun perisai hidup. Strategi ini mereka gunakan untuk menciptakan narasi negatif terhadap aparat negara, seolah-olah aparat datang untuk mengintimidasi atau menyerang warga. Padahal kenyataannya, OPM sendirilah yang memicu kekerasan dan kerugian di tengah masyarakat.
Kondisi ini menimbulkan keresahan mendalam di tengah masyarakat Papua. Banyak warga merasa terjebak di tengah konflik antara kelompok separatis dan aparat negara. Mereka yang pada dasarnya menginginkan kedamaian dan pembangunan harus hidup dalam ketakutan, tidak hanya terhadap senjata, tetapi juga terhadap manipulasi informasi dan tekanan sosial dari kelompok bersenjata.
Tokoh Agama pdt. Bambu Kuning menilai bahwa tindakan OPM sudah jauh dari semangat perjuangan. “Kalau dulu mereka berjuang katanya demi rakyat, sekarang justru rakyat yang menjadi korban. Ini bukan lagi perjuangan, tapi kekerasan. Mereka merusak anak-anak kami, dan telah melanggar agama yaitu membawa penderitaan bagi saudara sendiri” ujaranya.
Peristiwa ini menambah daftar panjang aksi kekerasan OPM yang menyasar rakyat sipil di Tanah Papua. Alih-alih memperjuangkan kepentingan masyarakat, OPM justru kerap memperalat mereka demi kepentingan kelompok. Pola seperti ini tidak hanya merugikan masyarakat secara fisik dan mental, tetapi juga menghambat segala bentuk pembangunan dan pelayanan yang seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat Papua.
Masyarakat kini berharap agar pemerintah dan aparat keamanan terus meningkatkan kehadirannya di wilayah-wilayah rawan, tidak hanya untuk menjaga stabilitas, tetapi juga untuk memberikan pelayanan nyata dan pendekatan persuasif kepada masyarakat. Mereka juga mendesak agar negara memberikan perlindungan maksimal terhadap masyarakat sipil dari ancaman dan intimidasi kelompok bersenjata.
Sebagai penutup, suara warga Papua kini semakin jelas: mereka ingin hidup damai, jauh dari kekerasan, dan bisa menikmati pembangunan seperti warga Indonesia lainnya. Tindakan OPM yang menjadikan mereka sebagai tameng atau korban, bukan saja menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga telah mencoreng perjuangan yang dulu mereka klaim suci.