Kabarnoken.com- Gelombang penolakan terhadap keberadaan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin meluas. Seluruh elemen masyarakat, mulai dari tokoh adat, pemuda, perempuan, hingga akademisi, kompak menyerukan penolakan terhadap eksistensi OPM yang selama ini dinilai hanya membawa kekacauan dan penderitaan bagi rakyat Papua.
Ondoafi Yance Wenda, tokoh adat dari Sentani, menegaskan bahwa OPM telah menyimpang jauh dari nilai-nilai luhur masyarakat Papua. “Mereka bukan pejuang, tapi pelaku kekerasan yang menakut-nakuti rakyat kecil. Kami lelah hidup dalam ketakutan,” ujarnya, Rabu (30/7/2025).
Senada dengan itu, Ketua Forum Mahasiswa Orang Asli Papua, Charles Kossay, menekankan bahwa pemuda Papua saat ini menginginkan masa depan yang aman, damai, dan sejahtera. “Kita tidak butuh kekerasan. Kita butuh sekolah, lapangan kerja, dan pembangunan. OPM justru menjadi penghambat semua itu,” tegasnya.
Sikap tegas juga datang dari kelompok perempuan Papua. Aktivis perempuan Pegunungan Tengah, Mama Rosa Magai, menyuarakan keprihatinannya atas banyaknya perempuan dan anak yang menjadi korban akibat ulah kelompok bersenjata. “Berhenti bikin kacau! Kami ingin anak-anak kami sekolah, bukan sembunyi di hutan karena takut disandera,” katanya dengan penuh emosi.
Para tokoh ini sepakat bahwa OPM kini bukan lagi simbol perlawanan, melainkan simbol kekacauan. Mereka menilai bahwa perjuangan sejati adalah dengan membangun Papua dari dalam, melalui pendidikan, kerja keras, dan kolaborasi antara masyarakat dengan pemerintah.
Gerakan masyarakat ini menjadi bukti bahwa Papua ingin damai. Penolakan terhadap OPM bukan sekadar pernyataan sikap, tetapi juga harapan agar masa depan tanah Papua dibangun di atas fondasi perdamaian, persatuan, dan kemajuan yang berkelanjutan.