Kabarnoken.com- Gerakan separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang selama ini dikenal solid dalam menyuarakan narasi kemerdekaan bagi Papua, kini mulai menghadapi tantangan serius dari dalam tubuhnya sendiri. Konflik internal, terutama yang muncul akibat perbedaan pandangan antara anggota yang berusia tua dan mereka yang lebih muda, mulai tampak semakin jelas dan berpotensi melemahkan struktur serta kekompakan organisasi tersebut.
Fenomena ini tidak hanya menandai adanya pergeseran dinamika kepemimpinan dalam tubuh OPM, tetapi juga mencerminkan kekecewaan yang mulai merebak di kalangan anggota muda terhadap strategi, metode, serta arah perjuangan yang selama ini dijalankan oleh para pemimpin senior.
Sumber-sumber intelijen di lapangan dan kesaksian dari sejumlah mantan anggota OPM yang telah kembali ke pangkuan NKRI mengungkapkan bahwa ketegangan antara dua generasi dalam tubuh organisasi separatis tersebut terjadi karena adanya perbedaan mendasar dalam memandang cara terbaik untuk mencapai tujuan.
Anggota senior OPM, yang sebagian besar telah berjuang sejak dekade 1980-an atau 1990-an, masih memegang teguh pola perjuangan klasik yang mengandalkan senjata dan serangan terhadap aparat keamanan serta simbol-simbol negara. Bagi mereka, jalur kekerasan dianggap sebagai satu-satunya cara untuk “memaksa” dunia internasional mengakui kemerdekaan Papua.
Namun, pandangan tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh generasi muda dalam tubuh OPM. Banyak dari mereka mulai mempertanyakan efektivitas metode kekerasan yang justru membuat masyarakat sipil menjadi korban. Sebaliknya, mereka menginginkan pendekatan yang lebih modern, seperti diplomasi, perlawanan sipil tanpa kekerasan, serta pemanfaatan media sosial untuk membentuk opini internasional.
“Anak-anak muda yang baru bergabung atau yang lahir dari generasi digital kini mulai jenuh dengan kekerasan. Mereka tidak melihat hasil nyata dari perjuangan bersenjata yang telah berlangsung selama puluhan tahun,” ujar sumber dari salah satu tokoh masyarakat di wilayah Pegunungan Tengah, Senin (12/5/2025).
Ketegangan ini bukan sekadar selisih pendapat biasa, melainkan telah berkembang menjadi pertentangan yang cukup tajam dan mengganggu koordinasi antar anggota. Beberapa insiden saling tuding bahkan pernah terjadi di wilayah Nduga dan Intan Jaya, di mana kelompok muda menolak mengikuti perintah serangan yang dirancang oleh pimpinan tua karena dianggap tidak strategis dan hanya akan memperburuk kondisi masyarakat sekitar.
Dalam beberapa kasus, para anggota muda juga menolak melakukan aksi pemalakan terhadap warga sipil ataupun menyerang fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas. Mereka menilai tindakan semacam itu hanya menciptakan kebencian dari masyarakat terhadap OPM, bukan menambah simpati seperti yang diklaim oleh para pimpinan tua.
“Mereka tahu bahwa menyerang tenaga kesehatan atau guru hanya akan memperburuk citra perjuangan mereka. Itu bukan perjuangan, itu tindakan kriminal,” kata Herman Yakob, salah satu eks anggota OPM yang kini aktif sebagai relawan di bidang pendidikan di Yahukimo.
Sayangnya, perbedaan pendapat tersebut tidak diterima dengan terbuka oleh sebagian besar pimpinan tua OPM. Mereka menganggap suara-suara kritis dari kelompok muda sebagai bentuk pembangkangan yang mengancam kewibawaan dan stabilitas organisasi. Dalam banyak kasus, para pemimpin tua justru menggunakan intimidasi, tekanan, bahkan kekerasan fisik untuk membungkam kelompok muda yang dianggap “pemberontak dalam tubuh pemberontakan.”
Sebby Sambom, juru bicara OPM yang kerap mengeluarkan pernyataan dari luar negeri, dalam beberapa kesempatan mencoba menutupi isu internal ini dengan narasi umum bahwa OPM tetap solid. Namun, laporan di lapangan membantah klaim tersebut. Bahkan beberapa pos komando OPM dilaporkan mengalami disintegrasi karena perselisihan antara komando senior dan para anggota muda.
Konflik internal ini pada akhirnya membuat sejumlah anggota muda memilih hengkang dari OPM. Sebagian kembali ke kehidupan sipil, sementara sebagian lainnya secara terbuka menyerahkan diri kepada aparat keamanan dan menyatakan kesetiaan kepada NKRI.
Perbedaan pendapat dalam tubuh OPM antara generasi tua dan muda menjadi gambaran bahwa perjuangan bersenjata tidak lagi relevan di tengah dunia yang bergerak menuju penyelesaian konflik secara damai. Anak-anak muda Papua kini lebih tertarik pada masa depan yang jelas, yang menjanjikan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak.